Jumat, 14 Januari 2011

ASKEP Kolelitiasis

BAB II
KONSEP DASAR
                                                                                            
2.1  Konsep Dasar Kolelitiasis
2.1.1        Pengertian
Kolelitiatis (kalkulus/kalkuli, batu empedu) biasanya terbentuk dalam kantung empedu dari unsur-unsur padat yang membentuk cairan empedu, batu empedu memilki ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. Batu empedu tidak lazim dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda tetapi insidensnya semakin sering pada individu berusia diatas 40 tahun. Sesudah itu, insidens kolelitiasis semakin meningkat hingga suatu tingkat yang diperkirakan bahwa pada usia 75 tahun satu dari 3 orang akan memiliki batu empedu (Brunner, 2003).
Kolelitiasis adalah batu empedu yang terletak pada saluran empedu yang disebabkan oleh faktor metabolik antara lain terdapat garam-garam empedu, pigmen empedu dan kolestrol, serta timbulnya peradangan pada kandung empedu ( Barbara C. Long, 1996 )

2.1.2        Anatomi Empedu
Kandung empedu adalah kantong berbentuk buah pear yang terletak pada permukaan visceral hepar. Kantung empedu dibagi menjadi fundus, corpus dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan arahnya ke atas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi kandung empedu dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral hati.

2.1.3 Fisiologi Empedu
Kandung empedu berperan sebagai resevoir empedu dengan kapasitas sekitar 50 ml. Kandung empedu mempunyai kemampuan memekatkan empedu. Untuk membantu proses ini, mukosanya mempunyai lipatan – lipatan permanen yang satu sama lain saling berhubungan. Sehingga permukaanya tampak seperti sarang tawon. Sel - sel thorak yang membatasinya juga mempunyai banyak mikrovilli.
Empedu dibentuk oleh sel-sel hati ditampung di dalam kanalikuli. Kemudian disalurkan ke duktus biliaris terminalis yang terletak di dalam septum interlobaris. Saluran ini kemudian keluar dari hati sebagai duktus hepatikus kanan dan kiri. Kemudian keduanya membentuk duktus biliaris komunis. Pada saluran ini sebelum mencapai doudenum terdapat cabang ke kandung empedu yaitu duktus sistikus yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan empedu sebelum disalurkan ke duodenum.

            2.1.4 Epidemologi
Tiap tahun 500.000 kasus baru dari batu empedu ditemukan di Amerika Serikat. Kasus tersebut sebagian besar didapatkan di atas usia pubertas, sedangkan pada anak-anak jarang. Orang gemuk ternyata mempunyai resiko tiga kali lipat untuk menderita batu empedu. Insiden pada laki-laki dan wanita pada batu pigmen tidak terlalu banyak berbeda.
Seorang ahli medis USA membuktikan bahwa diet tidak berpengaruh terhadap pembentukan batu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi jenis batu yang terbentuk. Hal ini disokong oleh peneliti dari Jepang yang menemukan bukti bahwa orang dengan diet berat biasanya menderita batu jenis kolesterol, sedangkan yang dietnya tetap biasanya menderita batu jenis pigmen. Faktor keluarga juga berperan dimana bila keluarga menderita batu empedu kemungkinan untuk menderita penyakit tersebut dua kali lipat dari orang normal.

2.1.5 Etiologi / penyebab
Etiologi batu empedu masih belum diketahui secara pasti, adapun faktor predisposisi terpenting, yaitu: gangguan metabolisme yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, statis empedu, dan infeksi kandung empedu.
 Perubahan komposisi empedu kemungkinan merupakan faktor terpenting dalam pembentukan batu empedu karena hati penderita batu empedu kolesterol mengekresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang berlebihan ini mengendap dalam kandung empedu (dengan cara yang belum diketahui sepenuhnya) untuk membentuk batu empedu.
            Statis empedu dalam kandung empedu dapat mengakibatkan supersaturasi progresif, perubahan komposisi kimia, dan pengendapan unsur-insur tersebut. Gangguan kontraksi kandung empedu atau spasme spingteroddi, atau keduanya dapat menyebabkan statis. Faktor hormonal (hormon kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan kandung empedu.
 Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan dalam pembentukan batu. Mukus meningkatkan viskositas empedu dan unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat presipitasi/pengendapan. Infeksi lebih timbul akibat dari terbentuknya batu, dibanding panyebab terbentuknya batu.







2.1.6 Manifestasi klinis
Gejala kolelitiasis dapat terjadi akut atau kronis dan terjadinya gangguan pada epigastrium jika makan makanan berlemak, seperti: rasa penuh diperut, distensi abdomen, dan nyeri samar pada kuadran kanan atas.
a. Rasa nyeri hebat dan kolik bilier
Jika duktus sistikus tersumbat batu, maka kandung empedu mengalami distensi kemudian akan terjadi infeksi sehingga akan teraba massa pada kuadran I yang menimbulkan nyeri hebat sampai menjalar ke punggung dan bahu kanan sehingga menyebabkan rasa gelisah dan tidak menemukan posisi yang nyaman. Nyeri akan dirasakan persisten (hilang timbul) terutama jika habis makan makanan berlemak yang disertai rasa mual dan ingin mual muntah  pada pagi hari karena metabolisme di kandung empedu akan meningkat.
Perangsangan mual dapat diakibatkan dari adanya obstruksi saluran empedu sehingga mengakibatkan alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam empedu dan kolesterol) menyebabkan terjadinya proses peradangan disekitar hepatobiliar yang mengeluarkan enzim-enzim SGOT dan SGPT, menyebabkan peningkatan SGOT dan SGPT yang bersifat iritatif di saluran cerna sehingga merangsang nervus vagal dan menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis sehingga terjadi penurunan peristaltik sistem pencernaan di usus dan lambung, menyebabkan makanan tertahan di lambung dan peningkatan rasa mual yang mengaktifkan pusat muntah di medula oblongata dan pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan serta neuron-neuron motorik spinalis ke otot-otot abdomen dan diafragma sehingga menyebabkan muntah.
Apabila saraf simpatis teraktifasi akan menyebabkan akumulasi gas usus di sistem pencernaan yang menyebabkan rasa penuh dengan gas maka terjadilah kembung.



Mekanisme mual dan muntah

Obstruksi saluran empedu
Alir balik cairan empedu ke hepar (bilirubin, garam empedu, kolesterol)
Proses peradangan disekitar hepatobiliar
Pengeluaran enzim-enzim SGOT dan SGPT
Peningkatan SGOT dan SGPT
Bersifat iritatif di saluran cerna
Merangsang nervus vagal (N.X Vagus)
Menekan rangsangan sistem saraf parasimpatis

Penurunan peristaltik sistem Akumulasi gas usus
pencernaan (usus dan lambung) di sistem pencernaan
↓ ↓
Makanan tertahan di lambung Rasa penuh dengan gas
↓ ↓
Peningkatan rasa mual Kembung
Pengaktifan pusat muntah (medula oblongata)
Pengaktifan saraf kranialis ke wajah, kerongkongan,
serta neuron-neuron motorik spinalis
ke otot-otot abdomen dan diafragma
Muntah

b. Ikterik dan BAK berwarna kuning
Akibat adanya obstuksi saluran empedu menyebabkan eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) menurun sehingga feses tidak diwarnai oleh pigmen empedu dan feses akan berwarna pucat kelabu dan lengket seperti dempul yang disebut Clay Colored. Selain mengakibatkan peningkatan alkali fosfat serum, eksresi cairan empedu ke duodenum (saluran cerna) juga mengakibatkan peningkatan bilirubin serum yang diserap oleh darah dan masuk ke sirkulasi sistem sehingga terjadi filtrasi oleh ginjal yang menyebabkan bilirubin dieksresikan oleh ginjal sehingga urin berwarna kuning bahkan kecoklatan.

c. Defisiensi Vitamin.
Obstruksi aliran empedu juga mengganggu absorpsi vitamin A, D, E, dan K yang larut lemak.Defisiensi vitamin K dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.

2.1.7 Patofisiologi
a. Batu pigmen
Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari keempat anion ini adalah bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen (bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin terkonjugasi karna adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut dalam air tapi larut dalam lemak.sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan bilirubin tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang terjadi.


Mekanisme batu pigmen

Pigmen (bilirubin) tak terkonjugasi dalam empedu
Akibat berkurang atau tidak adanya enzim glokuronil tranferase
Presipitasi / pengendapan
Berbentuk batu empedu
Batu tersebut tidak dapat dilarutkan dan harus dikeluarkan dengan jalan operasi
           
b. Batu kolesterol
Kolesterol merupakan unsur normal pembentukan empedu dan berpengaruh dalam pembentukan empedu. Kolesterol bersifat tidak larut dalam air, kelarutan kolesterol sangat tergantung dari asam empedu dan lesitin (fosfolipid).




2.1.8        Pemeriksaan Penunjang
2.1.8.1 Rontgen abdomen / pemeriksaan sinar X / Foto polos abdomen
Dapat dilakukan pada klien yang dicurigai akan penyakit kandung empedu. Akurasi pemeriksaannya hanya 15-20 %. Tetapi bukan merupakan pemeriksaan pilihan.
2.1.8.2  Kolangiogram / kolangiografi transhepatik perkutan
Melalui penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam cabang bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan relatif besar maka semua komponen sistem bilier (duktus hepatikus, D. koledukus, D. sistikus dan kandung empedu) dapat terlihat. Meskipun angka komplikasi dari kolangiogram rendah namun bisa beresiko peritonitis bilier, resiko sepsis dan syok septik.


2.8.1.3 ERCP ( Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatographi)
Sebuah kanul yang dimasukan ke dalam duktus koledukus dan duktus pancreatikus, kemudian bahan kontras disuntikkan ke dalam duktus tersebut. Fungsi ERCP ini memudahkan visualisasi langsung stuktur bilier dan memudahkan akses ke dalam duktus koledukus bagian distal untuk mengambil batu empedu, selain itu ERCP berfungsi untuk membedakan ikterus yang disebabkan oleh penyakit hati (ikterus hepatoseluler dengan ikterus yang disebabkan oleh obstuksi bilier dan juga dapat digunakan untuk menyelidiki gejala gastrointestinal pada pasien-pasien yang kandung empedunya sudah diangkat.ERCP ini berisiko terjadinya tanda-tanda perforasi/ infeksi
2.1.8.4 Kolangiografi Transhepatik Perkutan.
 Pemeriksaan kolangiografi ini meliputi penyuntikan bahan kontras langsung ke dalam percabangan bilier. Karena konsentrasi bahan kontras yang disuntikan itu relatif besar, maka semua komponen  pada sistem bilier tersebut, yang mencakup duktus hepatikus dalam hati, keseluruhan pajang duktus koledokus, duktus sistikus dan kandung empedu, dapat dilihat garis bentuknya dengan jelas. 
2.1.8.5 Pemeriksaan Pencitraan Radionuklida atau kolesentografi.
Dalam prosedur ini, peraparat radioktif disuntikan secara intravena. Kemudian diambil oleh hepatosit dan dengan cepat ekskeresikan kedalam sinar bilier. Memerlukan waktu panjang lebih lama untuk mengerjakannya membuat pasien terpajan sinar radiasi.

2.1.9        Penatalaksanaan
A.Non Bedah, yaitu :
1.Therapi Konservatif
·         Pendukung diit : Cairan rendah lemak
·         Cairan Infus : menjaga kestabilan asupan cairan
·         Analgetik : meringankan rasa nyeri yang timbul akibat gejala  
 penyakit
·         Antibiotik : mencegah adanya infeksi pada saluran kemih
·         Istirahat
2. Farmako Therapi
Pemberian asam ursodeoksikolat dan kenodioksikolat digunakan untuk melarutkan batu empedu terutama berukuran kecil dan tersusun dari kolesterol.
Zat pelarut batu empedu hanya digunakan untuk batu kolesterol pada pasien yang karena sesuatu hal sebab tak bisa dibedah. Batu-batu ini terbentuk karena terdapat kelebihan kolesterol yang tak dapat dilarutkan lagi oleh garam-garam empedu dan lesitin. Untuk melarutkan batu empedu tersedia Kenodeoksikolat dan ursodeoksikolat. Mekanisme kerjanya berdasarkan penghambatan sekresi kolesterol, sehigga kejenuhannya dalam empedu berkurang dan batu dapat melarut lagi. Therapi perlu dijalankan lama, yaitu : 3 bulan sampai 2 tahun dan baru dihentikan minimal 3 bulan setelah batu-batu larut. Recidif dapat terjadi pada 30% dari pasien dalam waktu 1 tahun , dalam hal ini pengobatan perlu dilanjutkan.
3. Penatalaksanaan Pendukung dan Diet
Suplemen bubuk tinggi protein dan karbohidrat dapat diaduk kedalam susu skim. Makanan berikut ini ditambahkan jika pasien dapat menerimanya: buah yang dimasak, nasi atau ketela, daging tanpa lemak, kentang yang dilumatkan, sayuran yang tidak membentuk gas, roti, kopi atau teh. Makanan seperti telur, krim, daging babi, gorengan, keju dan bumbu-bumbu yang berlemak, sayuran yang membentuk gasserta alkohol harus dihindari. Penatalaksanaan diet merupakan bentuk terapi utama pada pasien yang hanya mengalami intoleransi terhadap makanan berlemak dan mengeluarkan gejala gastrointestinal ringan.
                        4. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)
Prosedur nononvasif ini menggunakan gelombang kejut berulang (repeated shock wafes) yang diarahkan kepada batu empedu di dalam kandung empedu atau doktus koledokus dengan maksud untuk mencegah batu tersebut menjadi sejumlah fragmen. Gelombang kejut dihasilkan dalam media cairan oleh percikan listrik, yaitu piezoelelektrik, atau oleh muatan elektromagnetik. Energy ini di salurkan ke dalam tubuh lewat redaman air atau kantong yang berisi cairan. Gelombang kejut yang dikonvergensikan tersebut diarahkan kepada batu empedu yang akan dipecah.Setelah batu dipecah secara bertahap, pecahannya akan bergeraj spontan dikandung empedu atau doktus koledokus dan dikeluarkan melalui endoskop atau dilarutkan dengan pelarut atau asam empedu yang diberikan peroral.
5. Litotripsi Intrakorporeal.
Pada litotripsi intrakorporeal, batu yang ada dalam kandung empedu atau doktus koledokus dapat dipecah dengan menggunakan grlombang ultrasound, laser berpulsa atau litotripsi hidrolik yang dipasang pada endoskop, dan diarahkan langsung pada batu. Kemudian fragmen batu atau derbis dikeluarkan dengan cara irigasi dan aspirasi. Prosedur tersebut dapat diikuti dengan pengangkatan kandung empedu melalui luka insisi atau laparoskopi. Jika kandung empedu tidak di angkat, sebuah drain dapat dipasang selama 7 hari.

B. Pembedahan
1. Cholesistektomy
Merupakan tindakan pembedahan yang dilakukan atas indikasi cholesistitis atau pada cholelitisis, baik akut /kronis yang tidak sembuh dengan tindakan konservatif .
Tujuan perawatan pre operasi pada bedah cholesistectomy :
a. Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang prosedur
    operasi.
b. Meningkatkan kesehatan klien baik fisik maupun psikologis
c. Meningkatkan pemahaman klien dan keluarga tentang hal-hal
    yang akan dilakukan pada post operasi.
Tindakan Keperawatan Pada Cholecystotomy
a. Posisi semi Fowler
b. Menjelaskan tujuan penggunaan tube atau drain dan lamanya
c. Menjelaskan dan mengajarkan cara mengurangi nyeri
2. Kolesistektomi
Dalam prosedur ini kandung empedu diangkat setelah arteri dan duktus  sistikus diligasi. Kolesistektomi dilakukan pada sebagian besar kasus kolesistis akut dan kronis. Sebuah drain (Penrose) ditempatkan dalam kandung empedu dan dibiarkan menjulur keluar lewat luka operasi untuk mengalirkan darah, cairan serosanguinus dan getah empedu ke dalam kasa absorben.
                              3. Minikolesistektomi
Merupakan rposedur bedah untuk mengeluarkan kandung empedu lewat luka insisi selebar 4cm. kolesistektomi Laparoskopik (atau endoskopik), dilakukan lewat luka insisi yang kecil atau luka tusukan melalui dinding abdomen pada umbilicus. Pada prosedur kolesistektomi endoskopik, rongga abdomen ditiup dengan gas karbon dioksida (pneumoperitoneum) umtuk membantu pemasangan endoskop dan menolong dokter bedah melihat struktur abdomen. Sebuah endoskop serat optic dipasang melalui luka insisi umbilicus yang kecil. Beberapa luka tusukan atau insisi kecil tambahan dibuat pada dinding abdomen untuk memasukkan instrumen bedah lainnya ke dalam bidang operasi.
                              4.Koledokostomi
Dalam koledokostomi, insisi dilakukan pada duktus koledokus untuk mengeluarkan batu. Setelah batu dikeluarkan, biasanya dipasang sebuah kateter ke dalam duktus tersebut untuk drainase getah empedu sampai edema mereda. Keteter ini dihubungkan dengan selang drainase gravitas. Kandung empedu biasanya juga mengandung batu, dan umumnya koledokostomi dilakukan bersama-sama kolesistektomi.



2.2 Asuhan Keperawatan Kolelitiasis
Proses Keperawatan adalah pendekatan penyelesaian masalah yang sistematik untuk merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan yang melibatkan lima fase berikut i: pengkajian, identifikasi masalah, perencanaan, implementasi, evaluasi.
Proses Asuhan Keperawatan terdiri dari beberapa tahap :
2.2.1   Pengkajian
Pengkajian adalah fase pertama proses keperawatan .
Data yang dikumpulkan meliputi :
a. Identitas
1)      Identitas klien
            meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku/bangsa, agama, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk, tanggal pengkajian, nomor register, diagnosa medik, alamat, semua data mengenai identitaas klien tersebut untuk menentukan tindakan selanjutnya.
2)      Identitas penanggung jawab
identitas penanggung jawab ini sangat perlu untuk memudahkan dan jadi penanggung jawab klien selama perawatan, data yang terkumpul meliputi nama, umur, pendidikan, pekerjaan, hubungan dengan klien dan alamat.
b.      Riwayat Kesehatan
1)      Keluhan utama
merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen pada kuadran kanan atas.
2)      Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST, paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri/gatal dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu nyeri/gatal menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat mengurangi nyeri/gatal atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan klien merasakan nyeri/gatal tersebut.
3)      Riwayat kesehatan yang lalu
Perlu dikaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah di riwayat sebelumnya.
4)      Riwayat kesehatan keluarga
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit kolelitiasis
c.  Pemeriksaan fisik
1)      Keadaan Umum
a.       Penampilan Umum
Mengkaji tentang berat badan dan tinggi badan klien
b.      Kesadaran
Kesadaran mencakup tentang kualitas dan kuantitas keadaan klien.
c.       Tanda-tanda Vital
Mengkaji mengenai tekanan darah, suhu, nadi dan respirasi (TPRS)
2)      Sistem endokrin
         Mengkaji tentang keadaan abdomen dan kantung empedu. Biasanya pada penyakit ini kantung empedu dapat terlihat dan teraba oleh tangan karena terjadi pembengkakan pada kandung empedu.
d.      Pola aktivitas
1)      Nutrisi
Dikaji tentang porsi makan, nafsu makan
2)      Aktivitas
Dikaji tentang aktivitas sehari-hari, kesulitan melakukan aktivitas dan anjuran bedrest
3)      Aspek Psikologis
Kaji tentang emosi, Pengetahuan terhadap penyakit, dan suasana hati
4)      Aspek penunjang
1)      Hasil pemeriksaan Laboratorium (bilirubin,amylase serum meningkat) 
2)      Obat-obatan satu terapi sesuai dengan anjuran dokter.

2.2.2        Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan (Doenges, 2001)
1.      Nyeri berhubungan dengan agen cedera biologis: obstruksi/spasme duktus, proses inflamasi, iskemia jaringan/nekrosis.
Intervensi
Rasional
1.   Observasi dan catat lokasi, beratnya (skala 0-10) dan karakter nyeri (menetap, hilang timbul, kolik).


2.   Dorong menggunakan teknik relaksasi, contoh bimbingan imajinasi, visualisasi, latihan napas dalam.
3.   Tingkatkan tirah baring, biarkan pasien melakukan posisi yang nyaman.

Kolaborasi
1.   Pertahankan status puasa, masukan/pertahankan penghisapan NG sesuai indikasi.

2.   Berikan obat sesuai indikasi; antikolinergik.

1.   Membantu membedakan penyebab nyeri dan memberikan informasi tentang kemajuan/perbaikan penyakit, terjadinya komplikasi, dan keefektifan intervensi.
2.   Meningkatkan istirahat, memusatkan kembali perhatian, dapat meningkatkan koping.

3.   Tirah baring pada posisi fowler rendah menurunkan tekanan intraabdomen.

Kolaborasi
1.   Membuang secret gaster yang merangsang pengeluaran kolesistokinin dan kontraksi kandung empedu.
2.   Menghilangkan reflex spasme/kontraksi otot halus dan membantu dalam manajemen nyeri.




2.      Kekurangan volume cairan, risiko tinggi terhadap berhubungan dengan muntah, distensi, dan  hipermortilitas gaster.

Intervensi                
Rasional
1.   Pertahankan masukan dan haluaran akurat, perhatikan haluaran kurang dari masukan, peningkatan berat jenis urine. Kaji membrane mukosa/kulit, nadi perifer, dan pengisian kapiler.
2.   Awasi tanda/gejala peningkatan/berlanjutnya mual/muntah, kram abdomen, kelemahan, kejang, kejang ringan, kecepatan jantung tak teratur, parestesia, hipoaktif atau tak adanya bising usus, depresi pernapasan.

Kolaborasi
1.   Pertahankan pasien puasa sesuai keperluan.
2.   Berikan antimetik.

3.   Berikan cairan IV, elektrolit, dan vitamin K.
1.   Memberikan informasi tentang status cairan/volume sirkulasi dan kebutuhan penggantian.


2.   Muntah berkepanjangn, aspirasi gaster, dan pembatasan pemasukan oral dapat menimbulkan deficit natrium, kalium dan klorida.



Kolaborasi
1.   Menurunkan sekresi dan motilitas gaster.
2.   Menurunkan mual dan mencegah muntah.
3.   Mempertahankan volume sirkulasi dan memperbaiki ketidakseimbangan.


3. Nutrisi, perubahan: kurang dari kebutuhan tubuh, risiko tinggi terhadap berhubungan dengan memaksa diri atau pembatasan berat badan sesuai aturan; mual/muntah,
Intervensi
Rasional
1.   Kaji distensi abdomen, sering bertahak, berhati-hati, menolak bergerak.

2.   Perkirakan/hitung pemasukan kalori juga komentar tentang napsu makan sampai minimal.

3.   Berikan suasana menyenangkan pada saat makan, hilangkan rangsangan berbau.

Kolaborasi
1.   Konsul dengan ahli diet/tim pendukung nutrisi sesuai indikasi.

2.   Tambahkan diet sesuai toleransi, biasanya rendah lemak, tinggi serat, batasi makanan penghasil gas dan makanan/makanan tinggi lemak.
1.  Tanda non-verbal ketidaknyamanan berhubungan dengan gangguan pencernaan, nyeri gas.
2.  Mengidentifikasi kekurangan/kebutuhan nutrisi. Berfokus pada masalah membuat suasana negative dan mempengaruhi masukan.
3.  Untuk meningkatkan napsu makan/menurunkan mual.


Kolaborasi
1.   Berguna dalam membuat kebutuhan nutrisi individual melalui rute yang paling tepat.
2.   Memenuhi kebutuhan nutrisi dan meminimalkan rangsangan pada kandungan empedu.













2.2.3        Perencanaan
Perencanaan merupakan akatifitas berorientasi tujuan dan sistemik dimana rancangan intervensi keperawatan dituangkan dalam rencana keperawatan.

2.2.4        Implementasi
Implementasi adalah fase ketika perawat melakukan proses asuhan keperawatan yang sesuai dengan tujuan yang spesifik
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik .

2.2.5        Evaluasi
Perawat dapat melakukan evaluasi terhadap respon klien dari tindakan keperawatan yang dilaksanakan pada klien untuk mendapatkan kasus sebagai data dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang dilaksanakan pada klien untuk mendapatkan kasus sebagai data dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang berkesinambungan.
Evaluasi adalah proses yang terus menerus karena setiap intervensi dikaji efektivitasnya dan intervensi alternative digunakan sesuai kebutuhan. Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, recana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.
Evaluasi adalah fase akhir proses keperawatan. Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikirnya.
S : respon subjektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
      telah dilaksanakan
O : Respon Objektif klien terhadap tindakan keperawatan yang
      telah dilaksanakan
A : analisa ulang atas data subjektif dan objektif untuk
      menyimpulkan apakah masalah masih tetap atau muncul
      masalah baru atau ada data yang kontradiksi dengan masalah
      yang ada.
P : Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa respon
     klien